Sabtu, 04 April 2015

Perang Yaman, Perseteruan Suni VS Syiah, Atau Faktor Lain?



Timur tengah kembali memanas, apakah ini merupakan sekenario global yang menginginkan timur Tengah selalu mengalami tragedi kemanusiaan hebat sejak peritiwa perang 6 hari Arab Israel, perang Yom Kipuur, Perang teluk Invasi Irak ke Quwait, perang teluk Irak vs Iran, perang teluk Irak vs AS dan koalisinya dari sejumlah besar negara-negara barat.

Perang yang terjadi di timur Tengah sangat mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip hidup saling berdampingan secara damai. Rusaknya sisi kemanusiaan, kerugian ekonomi, politik, hukum apalagi HAM lebih banyak mendatangkan kemudaratan dari pada manfaatnya untuk dunia, khususnya untuk kepentingan negara-negara Arab yang note bene mayoritas muslim.

Tak terhitung kerugian yang diderita oleh negara Arab manapun jika ukuran materi akan disandingkan dengan dampak perang yang terjadi di Timur tengah. Pada akhir perang 6 hari, dunia Arab kehilangan Yerusalem Timur, Jalur Gaza, semenanjung Sinai, Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan.

Perang Yom Kipuur negara-negara Arablah yang pada akhirnya harus menelan pil pahit kekalahan total atas Israel, demikian juga perang perang lainnya, negara-negara Arab tinggal menyisakan gigit jari, jika tidak kehilangan wilayahnya yang semakin menyempit karena aneksasi Israel atas wilayah Arab Palestina, kerugian besar lainnya berupa kehancuran masif kekuatan militer dan peralatan tempur.
Belum lagi jumlah korban tewas dipihak Arab yang selalu jauh lebih besar dibandingkan korban yang dialami oleh Israel. Akibat perang itulah kini Palestina tinggal menyisakan 3 wilayah yang tidak seberapa secara keseluruhan kurang dari 550 km persegi yaitu Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem yang kini semakin sempit akibat diserobot untuk pemukiman Yahudi.

Akibat perang yang menyengsarakan bukan menjadi pelajaran penting bagi negara-negara Arab, yang selalu membawa kerugian materi dan non materi yang sangat besar, akan tetapi apa yang terjadi setelah perang Arab vs Israel apakah negara-negara Arab akan berhenti berperang? Ternyata tidak.

Setelah perang antara Arab dan Israel selesai, ternyata mereka masih harus berperang diantara bangsa mereka sendiri, saling menghancurkan terhadap negara tetangga dekatnya. Toleransi hidup berdampingan secara damai kiranya hanya bualan kosong yang sering dikumandankan oleh para pemuka agama Timur Tengah.

Perang Iran vs Irak misalnya, perang yang berlangsung dari tahun 1980-1988 itu menjadi yang terpanjang pada Abad 20. Yang menjadi akar utama konflik Iran dan Irak adalah ujung selatan Perairan Shatt al-Arab. Kedua negara berebut kawasan perairan yang sangat vital karena merupakan jalur penyuplaian strategis ke Barat.
Dalam perang tersebut dipercaya lebih dari satu juta tentara serta warga sipil Irak dan Iran tewas, dan lebih banyak lagi korban yang terluka dari kedua belah pihak selama pertempuran berlangsung.

Berikutnya adalah Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah perang delapan tahun dengan Iran. Pasca perang Irak-Iran, Irak sangat membutuhkan pemasukan ekonominya yang bangkrut akibat perang.
Sementara rendahnya harga petro dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas ladang minyak terbesar Rumeyla.

Invasi Irak kenegara terdekatnya Quwait ini akhirnya yang membuat marah negara-negara barat, seperti Amerika dan teman setianya Arab Saudi yang segera mengusir niat jahat Irak yang akan menganeksasi Quwait negara kaya minyak itu.
Tidak berhenti pada masalah invasi Irak ke Quwait, AS dengan sekutu baratnya mencari celah menguasai dominasi atas Timur Tengah, dengan meminta legalisasi PBB atas nama penjaga perdalaian dunia, untuk menghukum Saddam Hussein yang menyimpan senjata pemusnah masal

Sekitar setengah juta orang tewas di Irak akibat perang sejak invasi pasukan Amerika Serikat pada tahun 2003 hingga pertengahan 2011.Tim peneliti dar Amerika Serikat Kanada, dan Irak memperhitungkan jumlah korban jiwa dalam periode itu mencapai 461.000 orang.Perhitungan didasarkan survei secara acak atas 2.000 rumah tangga di 18 provinsi pada periode Mei hingga Juli 2011

Kini pintu perang Yaman dalam sekala yang luas dan masif tampaknya semakin terbuka lebar, setelah koalisi negara-negara Arab Sudan, Mesir, Maroko, Yordania, Kuwait, Bahrain, Qatar, UEA, Pakistan, yang di motori oleh Arab saudi melakukan operasi Badai untuk menghantam kekuatan gerilyawan HOUTHI yang didukung Iran.
Yang agak lebih aneh dalam hal ini adalah keikut sertaan Amerika Serikat dalam operasi Badai di Yaman dengan mengirimkan bantuan logistik tempur dan inteligen diterjunkan membantu pasukan Koalisi Arab Saudi dibawah komando Brigadir Jenderal Ahmed Asseri.

Apakah AS dan sekutu baratnya akan beralasan bahwa Gerilyawan Houthi menyimpan senjata pemusnah masal? Ketika alasan serupa dijadikan argumen ketika hendak memukul Irak? Tentunya tidak, dan mustahil.

Pertama, keikut sertaan tidak langsung Amerika Serikat dalam kancah pertempuran antar keluarga besar Timur Tengah ini sementara teramati adalah dalam batas-batas tertentu yakni perlindungan utama minyak dan kepentingan ekonomi AS dan sekutunya di Timur Tengah.

Kedua, secara umum kepentingan utama AS di kawasan ini yang terancam, yaitu kehadiran Rusia dan Keamanan Israel. Kepentingan kepentingan inilah yang memotivasi AS untuk menahan komunisme, menjaga akses minyak untuk AS dan menghambat perubahan politik kawasan tersebut.

Bahkan ketika perang dingin berakhir pun, kepentingan AS yang hakiki tersebut tetap tidak berubah. Yang berubah adalah ancaman terhadap kepentingan tersebut.

Sekarang dari motif Koalisi Negara-negara Timur Tengah, Arab, Sudan, Mesir, Maroko, Yordania, Kuwait, Bahrain, Qatar, UEA, Pakistan, yang di motori oleh Arab saudi juga bukan karena antara Sunni dan Syiah akan tetapi tidak jauh berbeda ketika Irak menyerang Quwait.

Motif utama bukan karena Sunni melawan Wahabi, demikian juga ketika Irak – Iran bukan karena Sunni – Syiah, melainkan karena kepentingan ekonomi dan posisi strategis penguasaan ladang-ladang minyak yang menjadi pemicu perang di Yaman.

Oleh sebab itu peta kekuatan sekarang menjadi lebih jelas dan simpel di satu sisi kekuatan koalisi Arab bersama Amerika Serikat menghadapi Pemberontak Houthi yang didukung Iran yang mendapat suport persenjataan dari Rusia. Kesimpulan dalam perang Yaman bukan perang Sunni-Syiah, atau Wahabi-Syiah, akan tetapi perang memperebutkan posisi strategis dan kekuasaan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar