Timur tengah kembali memanas,
apakah ini merupakan sekenario global yang menginginkan timur Tengah selalu
mengalami tragedi kemanusiaan hebat sejak peritiwa perang 6 hari Arab Israel,
perang Yom Kipuur, Perang teluk Invasi Irak ke Quwait, perang teluk Irak vs
Iran, perang teluk Irak vs AS dan koalisinya dari sejumlah besar negara-negara
barat.
Perang yang terjadi di timur
Tengah sangat mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip hidup saling
berdampingan secara damai. Rusaknya sisi kemanusiaan, kerugian ekonomi,
politik, hukum apalagi HAM lebih banyak mendatangkan kemudaratan dari pada
manfaatnya untuk dunia, khususnya untuk kepentingan negara-negara Arab yang
note bene mayoritas muslim.
Tak terhitung kerugian yang
diderita oleh negara Arab manapun jika ukuran materi akan disandingkan dengan
dampak perang yang terjadi di Timur tengah. Pada akhir perang 6 hari, dunia
Arab kehilangan Yerusalem Timur, Jalur Gaza, semenanjung Sinai, Tepi Barat dan
Dataran Tinggi Golan.
Perang Yom Kipuur negara-negara
Arablah yang pada akhirnya harus menelan pil pahit kekalahan total atas Israel,
demikian juga perang perang lainnya, negara-negara Arab tinggal menyisakan
gigit jari, jika tidak kehilangan wilayahnya yang semakin menyempit karena
aneksasi Israel atas wilayah Arab Palestina, kerugian besar lainnya berupa
kehancuran masif kekuatan militer dan peralatan tempur.
Belum lagi jumlah korban tewas
dipihak Arab yang selalu jauh lebih besar dibandingkan korban yang dialami oleh
Israel. Akibat perang itulah kini Palestina tinggal menyisakan 3 wilayah yang
tidak seberapa secara keseluruhan kurang dari 550 km persegi yaitu Tepi Barat,
Jalur Gaza dan Yerusalem yang kini semakin sempit akibat diserobot untuk
pemukiman Yahudi.
Akibat perang yang menyengsarakan
bukan menjadi pelajaran penting bagi negara-negara Arab, yang selalu membawa
kerugian materi dan non materi yang sangat besar, akan tetapi apa yang terjadi
setelah perang Arab vs Israel apakah negara-negara Arab akan berhenti
berperang? Ternyata tidak.
Setelah perang antara Arab dan
Israel selesai, ternyata mereka masih harus berperang diantara bangsa mereka
sendiri, saling menghancurkan terhadap negara tetangga dekatnya. Toleransi
hidup berdampingan secara damai kiranya hanya bualan kosong yang sering dikumandankan
oleh para pemuka agama Timur Tengah.
Perang Iran vs Irak misalnya,
perang yang berlangsung dari tahun 1980-1988 itu menjadi yang terpanjang pada
Abad 20. Yang menjadi akar utama konflik Iran dan Irak adalah ujung selatan
Perairan Shatt al-Arab. Kedua negara berebut kawasan perairan yang sangat vital
karena merupakan jalur penyuplaian strategis ke Barat.
Dalam perang tersebut dipercaya
lebih dari satu juta tentara serta warga sipil Irak dan Iran tewas, dan lebih
banyak lagi korban yang terluka dari kedua belah pihak selama pertempuran
berlangsung.
Berikutnya adalah Invasi Irak ke
Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah perang delapan tahun
dengan Iran. Pasca perang Irak-Iran, Irak sangat membutuhkan pemasukan
ekonominya yang bangkrut akibat perang.
Sementara rendahnya harga petro
dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang
dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas ladang
minyak terbesar Rumeyla.
Invasi Irak kenegara terdekatnya
Quwait ini akhirnya yang membuat marah negara-negara barat, seperti Amerika dan
teman setianya Arab Saudi yang segera mengusir niat jahat Irak yang akan
menganeksasi Quwait negara kaya minyak itu.
Tidak berhenti pada masalah
invasi Irak ke Quwait, AS dengan sekutu baratnya mencari celah menguasai
dominasi atas Timur Tengah, dengan meminta legalisasi PBB atas nama penjaga
perdalaian dunia, untuk menghukum Saddam Hussein yang menyimpan senjata
pemusnah masal
Sekitar setengah juta orang tewas
di Irak akibat perang sejak invasi pasukan Amerika Serikat pada tahun 2003
hingga pertengahan 2011.Tim peneliti dar Amerika Serikat Kanada, dan Irak
memperhitungkan jumlah korban jiwa dalam periode itu mencapai 461.000
orang.Perhitungan didasarkan survei secara acak atas 2.000 rumah tangga di 18
provinsi pada periode Mei hingga Juli 2011
Kini pintu perang Yaman dalam
sekala yang luas dan masif tampaknya semakin terbuka lebar, setelah koalisi
negara-negara Arab Sudan, Mesir, Maroko, Yordania, Kuwait, Bahrain, Qatar, UEA,
Pakistan, yang di motori oleh Arab saudi melakukan operasi Badai untuk
menghantam kekuatan gerilyawan HOUTHI yang didukung Iran.
Yang agak lebih aneh dalam hal
ini adalah keikut sertaan Amerika Serikat dalam operasi Badai di Yaman dengan
mengirimkan bantuan logistik tempur dan inteligen diterjunkan membantu pasukan
Koalisi Arab Saudi dibawah komando Brigadir Jenderal Ahmed Asseri.
Apakah AS dan sekutu baratnya
akan beralasan bahwa Gerilyawan Houthi menyimpan senjata pemusnah masal? Ketika
alasan serupa dijadikan argumen ketika hendak memukul Irak? Tentunya tidak, dan
mustahil.
Pertama, keikut sertaan tidak
langsung Amerika Serikat dalam kancah pertempuran antar keluarga besar Timur
Tengah ini sementara teramati adalah dalam batas-batas tertentu yakni
perlindungan utama minyak dan kepentingan ekonomi AS dan sekutunya di Timur
Tengah.
Kedua, secara umum kepentingan
utama AS di kawasan ini yang terancam, yaitu kehadiran Rusia dan Keamanan
Israel. Kepentingan kepentingan inilah yang memotivasi AS untuk menahan
komunisme, menjaga akses minyak untuk AS dan menghambat perubahan politik
kawasan tersebut.
Bahkan ketika perang dingin
berakhir pun, kepentingan AS yang hakiki tersebut tetap tidak berubah. Yang
berubah adalah ancaman terhadap kepentingan tersebut.
Sekarang dari motif Koalisi
Negara-negara Timur Tengah, Arab, Sudan, Mesir, Maroko, Yordania, Kuwait,
Bahrain, Qatar, UEA, Pakistan, yang di motori oleh Arab saudi juga bukan karena
antara Sunni dan Syiah akan tetapi tidak jauh berbeda ketika Irak menyerang
Quwait.
Motif utama bukan karena Sunni
melawan Wahabi, demikian juga ketika Irak – Iran bukan karena Sunni – Syiah,
melainkan karena kepentingan ekonomi dan posisi strategis penguasaan
ladang-ladang minyak yang menjadi pemicu perang di Yaman.
Oleh sebab itu peta kekuatan
sekarang menjadi lebih jelas dan simpel di satu sisi kekuatan koalisi Arab
bersama Amerika Serikat menghadapi Pemberontak Houthi yang didukung Iran yang
mendapat suport persenjataan dari Rusia. Kesimpulan dalam perang Yaman bukan
perang Sunni-Syiah, atau Wahabi-Syiah, akan tetapi perang memperebutkan posisi
strategis dan kekuasaan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar